Selasa, 17 April 2012

Pengaruh Acara TV Yang Tidak Edukatif

Pengaruh Acara TV Yang Tidak Edukatif
analisis data ditemukan bahwa tayangan Bolang ada dalam kategori negatif. Jenis penelitian evaluasi program tentang program tayangan dokumenter Si Bolang, yang didapat dari program trann7 yaitu dokumenter Si Bolang bulan Mei-Juli. Setelah dilaksanakan penelitian, hasil yang diperoleh sebagai berikut: Hasil rata-rata yang diperoleh sebanyak 7,4 yang masuk dalam kategori negatif, berdasarkan persepsi audio dan visual, anak banyak mengalami kesulitan sehingga pesan yang disampaikan tidak ... acara dokumenter anak yang syarat dengan pendidikan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek siswa di Kecamatan Camplong Sampang Madura, karena terkait dengan faktor sosial ekonomi masyarakat Camplong yang masih minim dan berdampak pada tingkat pendidikan anak-anak mereka saat diperoleh disekolah, pendidikan yang diperoleh disekolah masih kurang maksimal maka dari itu dengan adanya acara Bolang anak bisa memperoleh hiburan dan wawasan sesuai dengan konsep dari Trans7 bahwa 10% mengandung ... televisi sebagai media informasi. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh untuk menyampaikan pesan, banyak sekali stasiun televisi yang berlomba-lomba membuat program yang menarik salah satunya adalah Si Bolang di Trans7, Si Bolang adalah sebuah acara dokumenter anak yang syarat dengan pendidikan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek siswa di Kecamatan Camplong Sampang Madura, karena terkait dengan faktor sosial ekonomi masyarakat Camplong yang masih minim dan b ... tidak tersampaikan. Untuk mengatasi kendala tersebut sebaiknya audio (bahasa percakapan) dan visual (gambar, teks terjemahan) perlu diperjelas. ... edukatif, hal ini dibuktikan penemuan televisi sebagai media informasi. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh untuk menyampaikan pesan, banyak sekali stasiun televisi yang berlomba-lomba membuat program yang menarik salah satunya adalah Si Bolang di Trans7, Si Bolang adalah sebuah acara dokumenter anak yang syarat dengan pendidikan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek siswa di Kecamatan Camplong Sampang Madura, karena terkait dengan faktor sosial ekonomi masyarakat.

Dampak Negatif Tayangan Televisi

Dampak Negatif Tayangan Televisi

Maraknya tayangan kekerasan melalui media televisi, baik dengan berita kriminal maupun dari sinetron-sinetron yang tidak mendidik, dianggap telah memberi dampak negatif kepada pemirsanya. Berbagai berita kriminal, dianggap justru menginspirasi dan mendorong makin maraknya tindakan kriminal lain di masyarakat. Sementara, tontonan yang mengandung unsur kekerasan, juga ditengarai mendorong orang berbuat yang sama.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa pelaku kejahatan seperti pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan mencontek kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Salah satunya, melalui referensi dari tayangan tindak kriminalitas di televisi yang akhirnya membuat pola imitasi di masyarakat.

Menurut salah satu peneliti, Catur Suratnoaji, penelitian itu dilakukan pada 13 orang narapidana yang ada di Sidoarjo dan Malang. Ke-13 narapidana itu mendapat ilham melakukan tindak pidana dari tayangan di televisi. Mereka memodel dari apa yang ditayangkan televisi, sebut Catur dalam pemaparannya. Sebagaian narapidana itu mengaku mendapat cara menghapus jejak atau melakukan penipuan berdasarkan apa yang mereka lihat di televisi. Dalam pemaparannya lebih lanjut, ia juga menemukan bahwa berita kriminal justru menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan pada masyarakat. Karena itu, ia menyebut perlunya upaya untuk memperbaiki berita kriminalitas yang ada saat ini.

Penelitian yang dilakukan ini memang belum mewakili sebagian besar masalah pertelevisian. Perlu kajian lebih jauh apakah efek buruk itu semata karena pengaruh televisi, atau juga hal lain, seperti lingkungan? Yang jelas, apapun tayangannya, kita sendirilah yang berkemampuan untuk menyaring, mana yang baik dan buruk. Bagaimana pendapat Anda?

Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Perkembangan Anak

Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Perkembangan Anak

Televisi sekarang telah menjelma sebagai sahabat yang aktif mengunjungi anak-anak. Bahkan di lingkungan keluarga yang para orang tuanya sibuk bekerja di luar rumah, televis telah berfungsi ganda, yaitu sebagai penyaji hiburan sekaligus sebagai pengganti peran orang tua dalam mendampingi keseharian anak-anak.

Ironisnya, di tengah-tengah peran vitalnya selaku media hiburan keluarga, dunia pertelevisian kini telah mengalami disorientasi dalam ikut mendidik penontonnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Titie Said, dunia pertelevisian kini terancam oleh unsur-unsur vulgarisme, kekerasan, dan pornografi (KR, 23/9-2003). Ketiga unsur tersebut hampir-hampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat ditonton secara bebas bahkan oleh kalangan anak-anak. Padahal ketiga unsur itu mestinya dicegah agar tidak ditonton oleh anak-anak mengingat kondisi psikologi mereka yang belum mampu membedakan mana hal-hal yang positif dan mana hal-hal yang negatif dari sebuah tayangan TV.

Harus kita akui, belakangan ini berbagai tayangan televisi cenderung disajikan secara kurang selektif. Tayangan sinetron televisi, misalnya, kini didominasi oleh kisah-kisah percintaan orang dewasa, banyolan-banyolan konyol ala pelawak, intrik-intrik rumah tangga dari keluarga elit, cerita laga dan sejenisnya. Jika terus-terusan ditonton anak, hal ini akan membawa pengaruh kurang sehat bagi mereka. Sementara tayangan film yang khusus disajikan untuk anak-anak sering kali berisi adegan jorok dan kekerasan yang dapat merusak perkembangan jiwa. di sisi lain, aneka acara yang sifatnya menghibur anak-anak, seperti acara permainan, pentas lagu-lagu dan sejenisnya kurang memperoleh prioritas, atau hanya sedikit memperoleh jam tayang.

Masih minimnya komitmen televisi nasional dalam ikut mendidik anak-anak tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pemilik dan pengelola televisi. Orentasi pendidikan perlu menjadi semangat kerja para pemilik dan pengelola televisi dalam rangka membantu tugas orang tua, sekolah dan masyarakat dalam mengajarkan dan mendidik agama, budi pekerti, etos kerja, kedisiplinan, nilai-nilai kesopanan dan kreatifitas di kalangan anak-anak dan remaja.

Dalam situasi demikian tentu saja akan bersifat kontra produktif jika beberapa stasiun televisi menayangkan berbagai acara yang kurang memupuk upaya penanaman nilai agama dan budi pekerti. Untuk itu, sudah saatnya para pengelola televisi dituntut kesediaannya dalam memperbanyak volume acara yang membawakan pesan-pesan edukatif, positif. Sebaliknya mengurangi volume tayangan yang secara terselubung membawakan pesan-pesan negatif seperti sinetron yang bertemakan percintaan antara siswa dengan gurunya, intrik antar gadis dalam memperebutkan cowok keren, kebiasaan hura-hura, pesta, serta adegan-adegan kurang pantas lain yang membuat kalangan orang tua mengelus dada.

Kita akui, tayangan televisi seperti sinetron hanya sebatas rekaan sutradara yang tak mesti sejalan denga realitas pergaulan remaja kita sehari-hari. tetapi, karena TV telah menjadi media publik yang ditonton secara luas, termasuk kalangan anak-anak, maka akan memberi dampak kurang positif jika isinya bersifat vulgar. Di samping itu, judul sinetron yang selalu mengambil topik-topik tentang percintaan dan pacaran sedikit banyak akan mengajari anak-anak untuk berpacaran, tampil sexy, bergaya hidup trendy dan berorentasi yang penting happy. Walaupun tayangan ini belum tentu ditiru namun tetap akan mengontaminasi pikiran polosnya. Karena efek tayangan TV selama ini terbukti cukup ampuh bagi mereka. Simak saja, tingkah laku sebagian anak-anak remaja kita yang sangat mengidolakan tokoh-tokoh film percintaan dan sejenisnya.

Bertolak dari sini, dapat digarisbawahi bahwa penayangan bertemakan remaja yang kental nuasa percintaannya serta mengambil background anak sekolah seperti berseragan putih biru untuk SLTP maupun berseragan putih abu-abu untu SLTA justru kurang memberikan pra-kondisi bagi tumbuhnya remaja yang cerdas, berakhlak mulia, kreatif, disiplin dan lain-lain. Hal inilah yang membut orang tua menjadi ngeri dan sangat menyayangkan pemutranan sinetron yang miskin kandungan nilainya seperti itu.

Analisa dan Solusi
Munculnya beberapa TV swasta baru, baik yang cakupannya lokal maupaun nasional. Sebenarnya disambut hangat oleh publik. Hal ini lantaran publik merasa memperoleh tambahan berbagai sajian acara baru yang lebih beragam. Booming TV swasta sanggat diharapkan akan memberikan pencerahan budaya sekaligus pencerdasan melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam, objektif dan akurat, dengan sajian informasi yang tajam, maka akan mencerdaskan masyarakat dalam memahami berbagai persolan aktual baik di bidang ekonomi, pilitik, sosial, budaya, dan lain-lain. Disamping itu, TV juag akan memperluas wawasan masyarakat jika mereka aktif mengikuti acara dialog, debat, diskusi dan berbagai acara informatif-edukatif lain yang ditayangkan TV.

Namun tak dapat diingkari kehadiran beberapa TV swasta baru semakin mempertajam tingkat kompetisi bisnis pertelevisian di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, para awak TV swasta yang ada, baik pemain lama maupun pemain baru, harus memutar otak untuk memilih strategi jitu dalam menggait pemirsa. Logikanya, jika mereka berhasil merebut simpati penonton secara luas maka sejumlah iklan akan masuk.

Yang menjadi keprihatinan kita, ternyata sebagian TV swasta memilih strategi yang kurang tepat untuk menggaet penonton, diantaranya lewat eksploitasi anak-anak dan remaja secara berlebihan. Dan hal tersebut tampak pada tiga hal. Pertama, judul-judul sinetron selalu vulgar, menantang, dan mengandung unsur pornografi. Kedua, pemilihan aktris yang kebanyakan anak-anak dan remaja belia. Ketiga, jenis peran yang dilakoninya kurang berakar pada budaya pergaulan masyarakat Indonesia, dan bahkan sering kurang sesuai dengan tingkat kematangan psikologis dan umur pemerannya.

Agaknya, pemilihan aktris yang masih belia ini dimaksudkan untu menggaet penonton dari kalangan ABG atau remaja sebanyak-banyaknya. Disamping itu, pemilihan alur cerita yang memilih setting anak-anak sekolah tentunya diorientasikan untuk membidik segmen penonton yang duduk di SD kelas-kelas atas, SLTP, SLTA. Padahal adegan dalam sinetron bersetting sekolahan tersebut sebenarnya belum pantas dilakukan oleh mereka. Apa lagi apa bila kita berpijak pada nilai dan norma agama dan adat ketimuran, tentu peran dan adegan itu tidak layak diekspos di muka umum.

Agaknya, tanyangan TV terbukti cukup efektif dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku anak-anak lantaran media ini sekarang telah berfungsi sebagai rujukan dan wahana peniruan (what they see is what they do). Anak-anak sebagai salah satu konsumen media secara sadar atau tidak telah dicekoki budaya baru yang dikontruksi oleh pasar (market ideologi).

Untuk membantu anak agar dapat memanfaatkan tanyangan TV secara positif agaknya sangat membutuhkan peran optimal orang tua, terutama dalam mendampingi dan mengontrolnya. Orang tua harus sabar mendampingi anak-anaknya saat menonton TV. Hal ini perlu dilakukan orang tua agar anak tidak terpolusi oleh “Limbah budaya massa” yang terus mengalir lewat teknologi komunikasi yang hanya mempertontonkan hiburan sampah seperti hiburan opera sabun maupun sinetron akhir-akhir ini.

Orang tua perlu terus mananamkan daya pikir yang kreatif anak dalam belajar. Orang tua tidak perlu melarang anaknya menonton TV. Yang justru mendapat perhatian serius adalah bagaimana orang tua memilihkan acara yang betul-betul bermanfaat bagi pendidikan dan perkembangan anaknya, agar anak tersebut dapat terangsang untuk berfikir kreatif.

Hal tersebut sangat perlu dilakuakn karena mengingat kondisi psikologis anak yang belum matang, akan sulit bagi mereka untuk membedakan mana yang positif dan mana yang negatif. Orang tua perlu senantiasa mandampingi dan membimbingnya. Bentuk kehati-hatian dari para orang tua semenjak dini sangat diperlukan untuk menangkal efek samping (side effect). Yang kemungkinan timbul jika anak-anak dibebaskan menonton berbagai tanyangan TV sekehendaknya.

Kontrol orang tua terhadap tayangan TV juga dapat dilakukan secara langsung kepada stasiun TV yang menayangkannya. Caranya, orang tua dapat melayangkan protes kepada stasiun TV yang menayangkan sebuah acara yang dianggap bernilai negatif. Cara protes ini sekarang lebih mudah dilakukan karena telah disediakan salurannya. Hampir semua TV di Indonesia memiliki telepon, fax, email, bahkan SMS yang bisa dijangkau dari mana-mana. Mereka umumnya menerima layanan pelangan (custumer service) hampir 24 jam. Adaikan ada dua orang dari setiap propinsi di Indonesia yang rela menyempatkan diri ‘mengawasi’, atau bahkan melakukan protes terhadap setiap tayangan TV yang berbau ‘sesat’, maka dipastikan stasiun TV akan sangat selektif menampilkan tayangan akibat kewalahan menerima protes dari banyak permirsa. Jihad (memerangi) TV dengan memprotesnya, walau lewat telefon koin, lebih berguna demi satu abad masa depan anak-anak kita.

Bagi pemilik atau pengelola stasiun-stasiun TV itu sendiri, adalah bagaimana dapat memformat acara TV yang mampu melatih anak agar berfikir kreatif. Yaitu dengan lebih menambah acara-acara yang banyak mengandung unsur pendidikan, seperti, kuis anak-anak, sejarah, dan lain sebagainya. Stasiun TV hendaknya betul-betul memikirkan nasib perkembangan generasi bangsa ini. Hendaknya tidak bermuara pada meraup keuntungan yang sebayak-banyaknya, dengan tanpa memikirkan nasib konsumennya. Akan tetapi bagaimana sebuah stasiun TV itu dapat atau ikut andil dalam upaya mendidik generasi bangsa ini, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang betul-betul bermanfaat.

Kontrol terhadap tayanagn TV di masa depan agaknya akan bertambah optimal jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Sinetron mampu berjalan optimal. Kinerja kedua lembaga tersebut sanggat kiat tunggu, terutama dalam tiga hal. Pertama, mencegah unsur pornografi masuk dalam tanyangan sinetron. Kedua, mencegah unsur kekerasan berlebihan dalam sintron. Ketiga, mencegah pandangan dan pemikiran yang menyesatkan masuk dalam tayangan sinetron.
So, yang jelas dan pasti, faktor keterpengaruhan TV terhadap realitas pendidikan kita bukan hanya tugas pengelola TV, orang tua, atau KPI dan LSS, namun merupakan tangggung jawab yang harus dipikul oleh siapa saja yang masih membutuhkan pendidikan dan ilmu sebagai proses pembelajaran dan menaruh peduli terhadap perkembangan dan masa depan generasi bangsa ini.

Komunikasi Politik Ala Jokowi

Komunikasi Politik Ala Jokowi
A. Pengantar
Jokowi adalah sosok yang aneh bin ajaib. Saat Kepala Daerah lain mengerahkan Satpol PP untuk melakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL), dia justru melakukan dialog. Jokowi mengganti sikap “main hajar” dengan komunikasi yang beradab. Dalam konteks Indonesia, jelas ini merupakan keanehan. Hanya segelintir Kepala Daerah saja yang masih mau capek-capek berkeringat untuk “memanusiakan” warganya.
Artikel ini saya buat ketika Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Solo periode 2005-2010, untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik di Pascasarjana MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketika artikel ini saya buat dan saya serahkan kepada dosen dengan judul “Komunikasi Politik Wali Kaki Lima: Joko Widodo,” dosen saya Cuma mengerutkan dahinya. Belakangan baru saya tahu bahwa dia sebetulnya meragukan keabsahan komunikasi politik Kepala Daerah. Namun saya justru ingin meyakinkan bahwa komunikasi politik yang baik masih dilakukan oleh segelintir Kepala Daerah yang ada di Indonesia; Jokowi salah satunya.
B. Sekilas Sejarah Jokowi
Joko Widodo lahir di Surakarta (Solo) pada 21 Juni 1961. Joko merupakan putera daerah di tempat dia menjabat sebagai Walikota untuk masa bakti 2005-2010. Jokowi dicalonkan oleh PDI-P untuk naik menjadi Walikota.
Insinyur yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang mebel ini awalnya banyak yang meragukan kemampuan kepemimpinannya. Namun setahun setelah dia memimpin, banyak gebrakan progresif yang dilakukannya. Joko banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya sebagai pengusaha mebel.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding “Solo: The Spirit of Java“, Joko Widodo mampu mendongkrak prestasi Kota Solo. Joko berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo dan menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Solo.
Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Joko Widodo lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Joko melakukan komunikasi langsung secara rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL.
Dalam suatu kesempatan, Ayah dari tiga orang anak ini mengakui sulitnya memimpin sebuah kota. Jika dibandingkan dengan pengalamannya dalam memimpin sebuah perusahaan, memimpin kota jauh lebih kompleks. Meski sempat bungkam terkait rencananya untuk kembali maju sebagai calon Walikota Solo periode 2010-2015, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk kembali maju.
Selama menjadi Walikota, tidak terdengar kasus korupsi yang dia lakukan. Bahkan uniknya Joko Widodo juga tidak “tunduk” kepada pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Ketika dia mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Solo agar bersedia membantu masyarakat miskin yang sakit dengan tidak memberatkan biaya pengobatan mereka, Joko menekankan, bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMB-nya. Dengan bersungut-sungut semua pengelola rumah sakit kemudian mematuhi kebijakan itu. Dan kebijakan itu bisa dijadikan indikasi bahwa Jokowi juga menolak tindak kolusi. Paling tidak, demikian yang selama ini dipublikasikan media.
C. Komunikasi Politik Jokowi
1. Langkah Relokasi Pedagang Kaki Lima
Nama Joko Widodo menjadi semakin popular setelah dia melakukan relokasi PKL. Berawal pada tahun 2005 ketika Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Walikota Solo, membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga Kota Solo.
Dari hasil survey ditemukan bahwa kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan. Joko memang sudah mempunyai program untuk menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Namun hasil survey tersebut membuat Joko menghadapi dilema. Di satu sisi dia merupakan seorang Walikota baru yang tidak ingin memancing konflik dengan para PKL di awal masa kepemimpinannya. Namun di sisi lain dia tidak dapat menutup mata untuk merespons keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman.
Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun dengan cara yang strategik dan hati-hati. Tiga Walikota sebelumnya terbukti tidak mampu melakukan relokasi. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota jika mereka digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan sekedar “gertak sambal”. Sejak dibangun, kantor Walikota Solo sudah dua kali dibakar, yakni pada tahun 1998 dan 1999. Secara kultural, memang masyarakat Solo dikenal sebagai masyarakat yang lembut dan santun. Namun diakui juga bahwa masyarakat Solo sangat reaksioner dan mudah terbakaremosinya.
Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Joko memiliki pengalaman dalam melakukan lobby dan negosiasi bisnis yang disebutnya “lobi meja makan”. Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sudah jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Joko Widodo mengundang dan mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tidak ada pembicaraan mengenai relokasi. Joko sama sekali tidak menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya untuk disampaikan. Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, dimana Joko hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Joko mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.
Ketika Joko Widodo mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Joko Widodo, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Joko berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang.
Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Joko juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Joko juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Joko berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura. Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Jokowi juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL.
Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan.
Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Joko Widodo menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. Strategi ini jelas unik dan konstruktif. Langkah Joko Widodo kemudian mengundang kekaguman dari banyak pihak, baik lokal maupun nasional. Di saat para Kepala Daerah lebih senang menggunakan Satpol PP untuk melakukan penggusuran, Joko justru menggunakan komunikasi politik yang simpatik dan strategik. Tidak tanggung-tanggung majalah Tempo menganugerahkan Walikota ini sebagai salah satu pemimpin terbaik pada tahun 2008. Tempo bahkan menjulukinya sebagai “Wali Kaki Lima”. Sebuah bukti bahwa komunikasi yang baik dapat memberikan efek yang baik, terutama kepada seorang pemimpin jabatan publik.
2. Komunikasi Politik: Antara Teori dan Praksis
Dalam teori “Empati dan Homifili” dikatakan bahwa sebuah komunikasi politik akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksikan diri dengan baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikator melaksakan komunikasinya dengan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain dan dilaksanakan atas dasar kesamaan.
Joko Widodo bisa jadi belum pernah mengetahui teori empati dan homofili. Namun apa yang dilakukannya tampak selaras dengan teori ini. Hipotesa ini didasarkan pada beberapa hal berikut;
Pertama, Joko Widodo memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan alternatif berupa tempat berdagang yang lebih baik daripada di jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi dengan para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal, memperluas jalan dan membuat satu trayek angkutan kota baru.
Kedua, Joko Widodo menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak 54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa dan dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan” merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yang simpatik dan berusaha memahami posisi para PKL.
Ketiga, Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih melakukan pengusiran dengan kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” dan pakaian adat. Arak-arakan yang dilakukan ini menunjukkan bahwa Joko ingin menunjukkan “kesamaan” dengan para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin membangun Kota Solo menjadi lebih baik, dan kesamaan bahwa mereka berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian adat yang sama, musik yang sama, tarian yang sama.
Keempat, Tindakan Joko Widodo sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap ekonomi kecil dan pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah kepemimpinannya Joko dengan sukses membangun ekonomi kerakyatan. Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap Walikota mereka berpihak pada masyarakat. Teori empati dan homofili diaktualisasikan oleh Joko Widodo dengan baik. Teori empati dan homofili menjadi sebuah “instrumen” komunikasi politik yang efektif bagi Walikota Solo ini dalam melaksanakan kepemimpinannya. Lima tahun dalam masa jabatannya, tidak terdapat gejolak yang berarti dari masyarakat terhadap Joko Widodo. Semua hanya karena komunikasi yang dilaksanakannya sangat efektif.
D. Efek Komunikasi Politik
Komunikasi memiliki efek, baik langsung atau tidak. Dalam kasus Joko Widodo di atas, ada beberapa efek yang timbul dari pelaksanaan komunikasi politiknya.
Pertama, Joko Widodo mendapatkan feedback positif dari para PKL saat melakukan relokasi. Sehingga tujuan melakukan relokasi dapat terlaksana tanpa gejolak.
Kedua, Joko Widodo mendapat pencitraan positif, baik dari masyarakat lokal maupun nasional. Dia dianggap sebagai pemimpin yang “memanusiakan” warganya.
Ketiga, Masyarakat mendukung kepemimpinan Joko Widodo selama masa bhaktinya tanpa gejolak dan sentimen politik.
Keempat, Kota Solo mengalami perkembangan pesat dari segi sosial, ekonomi dan politik selama kepemimpinan Joko Widodo akibat dari kepemimpinannya itu didukung oleh masyarakat.
Komunikasi bukan barang baru dalam dunia politik. Namun komunikasi yang baik dan efektif sangat jarang diterapkan oleh para pemimpin politik untuk menjalankan kepemimpinannya. Sehingga tidak jarang terjadi kesungkanan, benturan, bahkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Boleh jadi, sebagian besar konflik yang meletus di Indonesia antara pemerintah dengan masyarakat adalah karena kurang atau tidak adanya komunikasi yang baik. Sesederhana itu.

Sejarah Komunikasi Politik

Sejarah Komunikasi Politik

Komunikasi politik (Kompol) sebagai suatu studi mandiri barulah ada pada awal dasawarsa 1950-an. Istilah komunikasi politik itu sendiri baru pertama-tama dikemukakan secara tegas dan bulat oleh Euleau, Eldersveld, dan Janowitz pada tahun 1956. Euleau dan kawan-kawan mendudukkan komunikasi politik sebagai satu dari tiga proses yang berpengaruh dalam kegiatan politik. Dua proses lainnya adalah kepemimpinan politik dan struktur kelompok.
Aristoteles dalam buku Rhetoric membahas secara sistematis mengenai seni berpidato yang menjadi cikal bakal persuasi politik. Niccolo Machiaveli dalam bukunya Il Principle atau sang penguasa. Hocmuth dan Brigance dengan karya mereka The history and criticism of America public address dan para editor dari The quarterly journal of speech yang terbit pertama kali pada tahun 1915.

Perkembangan sejarah ilmu komunikasi politik
Pada dasarnya Komunikasi politik merupakan gabungan dari dua ilmu yang sama sama berasal dari Tradisi ilmu sosial yaitu Ilmu komunikasi dan politik yang mana dalam perkembangnnya tak dapat dinafikkan bahwa di dalam ranah politik proses komunikasi menempati posisi yang penting.
Dengan pendekatan komunikasi dapat membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih halus mengenai perilaku politik (Pye 1963)
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan Komunikasi politik tak lepas dari peranan dari beberapa tokoh di antarnya adalah :
Harold D. Lassweel (1902-1980) semasa hayatnya Lasswell banyak menulis buku yang mencakup bidang politik dan komunikasi di antara karyanya paling terkenal ialah The structure and Functions of communication society di mana di situ ia mengajukan sebuah rumus yang sangat banyak dipakai oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia ilmu Komunikasi yaitu ; Who says what, to whom, with what channel and with what effect.Pengaruh rumus ini dalam para pengkaji ilmu politik hingga kini masih dapat terlihat yang kemudian dikenal sebagai Lasswellian framework dan juga salah satu karya dari Lasswell yaitu : politics : who gets what, when, how dipengaruhi oleh rumus ini juga.
Tokoh lain yang tak kalah pentingnya adalah Ithiel seSola Pool, V.O. Key dan Gabriel A. Almond yang juga merupakan Murid dari Lasswell.
Pool (1917-1984) adalah seorang Profesor dan pernah mengepalai Department ilmu politik dan direktur program Riset mengenai Komunikasi Internasional di Massachussetts Institute of tehnology (MIT) ia juga pernah menjabat direktur proyek penelitian komunikasi pada Hoover Institute, Stanford University karya –karyanya yang dianngap penting dalam kajian komunikasi politik adalah : The People look at educational television; candidates, issues and strategies : a computer simulation 1960 election campaign dan Trends in Content analysis.
Key adalah tokoh yang mempertemukan pembahasan komunikasi dan disiplin ilmu politik melalui bukunya Public opinion and democracy (New York : Alfred A. Knopf , 1961) di situ ia membentangkan bagaimana berautnya prinsip prinsip komunikasi dengan suatu system politik demokratis.
Almond adalah Professor Ilmu Politik di Stanford University ia merupakan penyumbang yang bermakna dalam rangka pemahaman komunikasi Politik dalam suatu system politik melalui tulisannya bersama dengan Tokoh lain seperti Coleman (1960) Verba (1966) , Powell (1963 dan 1978) ia telah meletakkan dasar dasar konseptual untuk menganalisis dan memahami fungsi komunikasi dalam tatanan suatu system politik.
Kemudian Pye merupakan tokoh yang patut dicatat sebagai pelopor dalam menjembatani pemahaman komunikasi dalam konteks pembangunan politik. Karyanya yang terkenal adalah : Communication and Political Development, (Princeton University Press , 1963) dan Communication and Political Power in Indonesia (sebagai Editior bersama dengan Karl D. Jackson; Berkeley. CA : University of California Press , 1978) yang merupakan batu tapal yang penting dalam perjanalan pengkajian komunikasi politik.
Selain itu beberapa tokoh di tas di bawah ini terdapat beberapa tokoh sejak zaman Yunani yang tak dapat dikesampingkan sumbangsih dalam perkembangan Komunikasi Politik melalui karya karyanya yaitu :
Gorgias oleh Plato yang membahas masalah moralitas dalam propaganda;Rhetoric oleh Aristoteles, dan System of logic oleh John Stuart Mill(1946) yang menganalisis struktur suatu argumentasi yang persusasif; llau karya Lenin yakni what is to be done yang cukup banayk membahas peranan surat kabatr rusia dalam politik revolusioner di masa Bolshevik, , kemudian karya Milton , Areopagitica dan on liberty olehMill (1885) yang membahas efek sistemasi dibolehkannya kebebasan ekspresi dalam komunikasi. Selanjutnya Dicey (1905) yaitu The development of law opinion in England in the nineteenth century yang mengkaji efek dari konteks ideology terhdap tindakan politik. Tremasuk pula german ideology oleh Marx (1832) ; reflection on Violence olehSorel serta The Mind and Society Oleh Pareto yang membedakan fungsi sosial dengan nilai hakikat kepercayaan.
Perkembangan Komunikasi Politik Kontemporer
Minat terhadap pertautan antara komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Kajian sistematik mengenai hal ini telah dimulai sejak karya karya kaum sophist dan pandangan pandangan yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam karyanya Politics and Rhtoric dan melangkah ke depan lagi warisan komunikasi politik haruslah mencatat karya karya klasik dalam hal bidang seni persuasi yang ditulis oleh Sun Tzu, St. Thomas Aquinas, Shakespeare, Machivelli dan lain lain.
Dari filsafat lahirlah aliran aliran pemikiran yang bersifat eksistensial, fenomenistik, yang menghasilkan penekanan penekanan pada teori kritikal dalam komunikasi politik. Secara keseluruhan, diikat oleh sumber sumber subtansif yang beraneka, terdapat unsur unsur yang memberikan suatau karakter disiplin yang distink bagi kajian komunikasi politik.
 Perkembangan Komunikasi Politik Kontemporer
 Menurut Nimmo dan sanders (1981) tumbuhnya komunikasim politik sebagai suatu bidang yang bersifat lintas disiplin dapat ditelusuri sejak tahun 1950-an. Sebagaimana yang dikemukakannya bahwa pada tahun 1956 adalah merupakan usaha yang pertam untuk menampilkan “ Komunikasi Politik” sebagai salah satu dari tiga proses Intervening (yang dua lagi adalah : kepemimpinan Politik dan struktur kelompok) yang mana pengaruh politik dimobilisasikan dan ditransmisikan antara lembaga pemerintahan formal di satu pihak, dengan perilaku voting warga di lain pihak.
Namun Nimmo menyayangkan bahwa penelitian penelitian komunikasi politik sangatlah ketinggalan dibanding dengan penelitian di bidang bidang ilmu sosial yang lain. Pernyataan yang diungkapkan oleh Nimmo dapat dipandang sebagai suatu yang bersifat instruktif dan profetik. Pertama karena hal itu telah mengangkat komunikasi politik sebagai suatu lapangan ilmu sosial yang subtansif. Kedua bahwasanya ilmu komunikasi politik merupakan suatu ilmu yang terbelakang. Dan yang ketigapernyataan tersebut telah merumuskan framing dari lapangan komunikasi politik , yakni sebagai suatu proses intervening antara institusi pemerintahan yang formal dengan perilaku voting warga Negara.
Dan saat ini tentunya komunikasi politik bukan lagi merupakan suatu ilmu yang ketinggalan dia telah mengejewantah menjadi suatu bidang studi yang lebih subtansif dan merupakan suatu bidang disiplin ilmu yang terus tumbuh dan bidang cakupannya semakin meluas. Kritik yang ditujukan bagi penelitian di bidang komunikasi politik di masa lampau yang menyatakan bahwa penelitian di bidang ini cukup banayk ketinggalan dibanding dengan penelitian di bidang ilmu sosial lainnya, mulai terbantahkan.
*Materi di atas diperoleh dari materi kuliah Komunikasi Politik (Kompol) yang disampaikan oleh Dr. Rachma Ida di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga dan saya lengkapi dengan tulisan Yusran Darmawan (pangerankatak.blogspot.com) mengenai komunikasi politik.

Komunikasi Politik

Devinisi Komunikasi Politik

Komunikasi Politik adalah bidang dalam ilmu komunikasi yang berkenaan dengan politik. Dalam hal ini, aktivitas komunikasi mempengaruhi kegiatan politik, begitu pula sebaliknya

Sebagai turunan dari Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi, bidang Komunikasi Politik berkaitan dengan pembuatan, penyebarluasan, penerimaan, dan dampak-dampak informasi berkonteks politik, baik melalui interaksi media massa maupun antar manusia.

Di dalam Komunikasi Politik terdapat studi media massa, analisis pidato-pidato atau pernyataan para politisi dan orang-orang yang berusaha mempengaruhi proses politik, perkembangan isu-isu politik di tengah masyarakat, dan lain-lain.

Tidaklah mudah menentukan definisi Komunikasi Politik,sebagaimana disampaikan Denton dan Woodward dalam Political Communication in America, faktor penting dalam melakukan kegiatan komunikasi yang politis bukanlah sumber pesan, melainkan isi dan tujuannya.

Brian McNair memberikan gambaran singkat mengenai Komunikasi Politik. Menurut McNair, Komunikasi Politik adalah aktivitas komunikasi tentang politik yang sarat tujuan. Aktivitas yang dimaksud tidak hanya berbentuk komunikasi verbal dan tertulis, tetapi juga melibatkan simbol-simbol nonverbal seperti pakaian, rias wajah, gaya rambut, desain logo, dan sebagainya. Dengan kata lain, identitas atau citra politik turut berperan dalam Komunikasi Politik.

Studi Komunikasi Politik adalah multidisipliner, karena menyinggung aspek-aspek dalam banyak ilmu pengetahuan, di antaranya ilmu sosial, jurnalisme, dan psikologi pendidikan.