Selasa, 17 April 2012

Komunikasi Politik Ala Jokowi

Komunikasi Politik Ala Jokowi
A. Pengantar
Jokowi adalah sosok yang aneh bin ajaib. Saat Kepala Daerah lain mengerahkan Satpol PP untuk melakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL), dia justru melakukan dialog. Jokowi mengganti sikap “main hajar” dengan komunikasi yang beradab. Dalam konteks Indonesia, jelas ini merupakan keanehan. Hanya segelintir Kepala Daerah saja yang masih mau capek-capek berkeringat untuk “memanusiakan” warganya.
Artikel ini saya buat ketika Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Solo periode 2005-2010, untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik di Pascasarjana MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketika artikel ini saya buat dan saya serahkan kepada dosen dengan judul “Komunikasi Politik Wali Kaki Lima: Joko Widodo,” dosen saya Cuma mengerutkan dahinya. Belakangan baru saya tahu bahwa dia sebetulnya meragukan keabsahan komunikasi politik Kepala Daerah. Namun saya justru ingin meyakinkan bahwa komunikasi politik yang baik masih dilakukan oleh segelintir Kepala Daerah yang ada di Indonesia; Jokowi salah satunya.
B. Sekilas Sejarah Jokowi
Joko Widodo lahir di Surakarta (Solo) pada 21 Juni 1961. Joko merupakan putera daerah di tempat dia menjabat sebagai Walikota untuk masa bakti 2005-2010. Jokowi dicalonkan oleh PDI-P untuk naik menjadi Walikota.
Insinyur yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang mebel ini awalnya banyak yang meragukan kemampuan kepemimpinannya. Namun setahun setelah dia memimpin, banyak gebrakan progresif yang dilakukannya. Joko banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya sebagai pengusaha mebel.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding “Solo: The Spirit of Java“, Joko Widodo mampu mendongkrak prestasi Kota Solo. Joko berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo dan menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Solo.
Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Joko Widodo lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Joko melakukan komunikasi langsung secara rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL.
Dalam suatu kesempatan, Ayah dari tiga orang anak ini mengakui sulitnya memimpin sebuah kota. Jika dibandingkan dengan pengalamannya dalam memimpin sebuah perusahaan, memimpin kota jauh lebih kompleks. Meski sempat bungkam terkait rencananya untuk kembali maju sebagai calon Walikota Solo periode 2010-2015, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk kembali maju.
Selama menjadi Walikota, tidak terdengar kasus korupsi yang dia lakukan. Bahkan uniknya Joko Widodo juga tidak “tunduk” kepada pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Ketika dia mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Solo agar bersedia membantu masyarakat miskin yang sakit dengan tidak memberatkan biaya pengobatan mereka, Joko menekankan, bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMB-nya. Dengan bersungut-sungut semua pengelola rumah sakit kemudian mematuhi kebijakan itu. Dan kebijakan itu bisa dijadikan indikasi bahwa Jokowi juga menolak tindak kolusi. Paling tidak, demikian yang selama ini dipublikasikan media.
C. Komunikasi Politik Jokowi
1. Langkah Relokasi Pedagang Kaki Lima
Nama Joko Widodo menjadi semakin popular setelah dia melakukan relokasi PKL. Berawal pada tahun 2005 ketika Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Walikota Solo, membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga Kota Solo.
Dari hasil survey ditemukan bahwa kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan. Joko memang sudah mempunyai program untuk menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Namun hasil survey tersebut membuat Joko menghadapi dilema. Di satu sisi dia merupakan seorang Walikota baru yang tidak ingin memancing konflik dengan para PKL di awal masa kepemimpinannya. Namun di sisi lain dia tidak dapat menutup mata untuk merespons keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman.
Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun dengan cara yang strategik dan hati-hati. Tiga Walikota sebelumnya terbukti tidak mampu melakukan relokasi. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota jika mereka digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan sekedar “gertak sambal”. Sejak dibangun, kantor Walikota Solo sudah dua kali dibakar, yakni pada tahun 1998 dan 1999. Secara kultural, memang masyarakat Solo dikenal sebagai masyarakat yang lembut dan santun. Namun diakui juga bahwa masyarakat Solo sangat reaksioner dan mudah terbakaremosinya.
Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Joko memiliki pengalaman dalam melakukan lobby dan negosiasi bisnis yang disebutnya “lobi meja makan”. Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sudah jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Joko Widodo mengundang dan mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tidak ada pembicaraan mengenai relokasi. Joko sama sekali tidak menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya untuk disampaikan. Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, dimana Joko hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Joko mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.
Ketika Joko Widodo mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Joko Widodo, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Joko berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang.
Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Joko juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Joko juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Joko berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura. Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Jokowi juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL.
Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan.
Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Joko Widodo menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. Strategi ini jelas unik dan konstruktif. Langkah Joko Widodo kemudian mengundang kekaguman dari banyak pihak, baik lokal maupun nasional. Di saat para Kepala Daerah lebih senang menggunakan Satpol PP untuk melakukan penggusuran, Joko justru menggunakan komunikasi politik yang simpatik dan strategik. Tidak tanggung-tanggung majalah Tempo menganugerahkan Walikota ini sebagai salah satu pemimpin terbaik pada tahun 2008. Tempo bahkan menjulukinya sebagai “Wali Kaki Lima”. Sebuah bukti bahwa komunikasi yang baik dapat memberikan efek yang baik, terutama kepada seorang pemimpin jabatan publik.
2. Komunikasi Politik: Antara Teori dan Praksis
Dalam teori “Empati dan Homifili” dikatakan bahwa sebuah komunikasi politik akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksikan diri dengan baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikator melaksakan komunikasinya dengan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain dan dilaksanakan atas dasar kesamaan.
Joko Widodo bisa jadi belum pernah mengetahui teori empati dan homofili. Namun apa yang dilakukannya tampak selaras dengan teori ini. Hipotesa ini didasarkan pada beberapa hal berikut;
Pertama, Joko Widodo memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan alternatif berupa tempat berdagang yang lebih baik daripada di jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi dengan para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal, memperluas jalan dan membuat satu trayek angkutan kota baru.
Kedua, Joko Widodo menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak 54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa dan dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan” merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yang simpatik dan berusaha memahami posisi para PKL.
Ketiga, Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih melakukan pengusiran dengan kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” dan pakaian adat. Arak-arakan yang dilakukan ini menunjukkan bahwa Joko ingin menunjukkan “kesamaan” dengan para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin membangun Kota Solo menjadi lebih baik, dan kesamaan bahwa mereka berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian adat yang sama, musik yang sama, tarian yang sama.
Keempat, Tindakan Joko Widodo sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap ekonomi kecil dan pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah kepemimpinannya Joko dengan sukses membangun ekonomi kerakyatan. Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap Walikota mereka berpihak pada masyarakat. Teori empati dan homofili diaktualisasikan oleh Joko Widodo dengan baik. Teori empati dan homofili menjadi sebuah “instrumen” komunikasi politik yang efektif bagi Walikota Solo ini dalam melaksanakan kepemimpinannya. Lima tahun dalam masa jabatannya, tidak terdapat gejolak yang berarti dari masyarakat terhadap Joko Widodo. Semua hanya karena komunikasi yang dilaksanakannya sangat efektif.
D. Efek Komunikasi Politik
Komunikasi memiliki efek, baik langsung atau tidak. Dalam kasus Joko Widodo di atas, ada beberapa efek yang timbul dari pelaksanaan komunikasi politiknya.
Pertama, Joko Widodo mendapatkan feedback positif dari para PKL saat melakukan relokasi. Sehingga tujuan melakukan relokasi dapat terlaksana tanpa gejolak.
Kedua, Joko Widodo mendapat pencitraan positif, baik dari masyarakat lokal maupun nasional. Dia dianggap sebagai pemimpin yang “memanusiakan” warganya.
Ketiga, Masyarakat mendukung kepemimpinan Joko Widodo selama masa bhaktinya tanpa gejolak dan sentimen politik.
Keempat, Kota Solo mengalami perkembangan pesat dari segi sosial, ekonomi dan politik selama kepemimpinan Joko Widodo akibat dari kepemimpinannya itu didukung oleh masyarakat.
Komunikasi bukan barang baru dalam dunia politik. Namun komunikasi yang baik dan efektif sangat jarang diterapkan oleh para pemimpin politik untuk menjalankan kepemimpinannya. Sehingga tidak jarang terjadi kesungkanan, benturan, bahkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Boleh jadi, sebagian besar konflik yang meletus di Indonesia antara pemerintah dengan masyarakat adalah karena kurang atau tidak adanya komunikasi yang baik. Sesederhana itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda